Pengertian Mursyid

Kata mursyid berasal dari bahasa Arab dan merupakan ism fa’il (Ingg. Present participle) kata kerja arsyada – yursyidu yang berarti “membimbing, menunjuki (jalan yang lurus)”, terambil dari kata rasyad ‘hal memperoleh petunjuk/kebenaran’ atau rusyd dan rasyada ‘hal mengikuti jalan yang benar/lurus’ [Lisan al-Arab, III: 175-176].
Dengan demikian, makna mursyid adalah “(orang) yang membimbing atau menunjuki jalan yang lurus” Dalam wacana tasawuf/tarekat mursyid sering digunakan dengan kata Arab Syaikh; kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “guru”.
Dalam al-Quran kata mursyid muncul dalam konteks hidayah (petunjuk) yang dioposisikan dengan dhalalah (kesesatan), dan ditampilkan untuk menyipati seorang wali yang oleh Tuhan dijadikan sebagai khalifah-Nya untuk memberikan petunjuk kepada manusia:

‘Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia benar-benar mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan, maka orang itu tidak akan pernah engkau dapati memiliki wali mursyid (pemimpin yang mampu memberi petunjuk).” (Al-Kahfi, 18:17)

Kata wali (pl. awliya) sendiri menunjukan kepada beberapa makna, antara lain al-nashir ‘penolong’ [Lisan al-Arab, XV: 406], al-mawla fi al-din ‘pemimpin spiritual’[Lisan al-Arab XV: 408], al-shadiq ‘teman karib’ dan al-tabi al-muhibb ‘pengikut yang mencintai’ [Lisan al-Arab, XV:411] Semua makna ini berserikat dan secara simultan menjelaskan makna wali dalam ayat diatas, yaitu “orang yang mencintai dan dicintai Allah sehingga layak menjadi pemimipin spritual yang harus diikuti”.
Pengertian wali semacam ini digambarkan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan beberapa imam hadis lainnya dengan redaksi:

“Barangsiapa memusuhi seorang wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai berupa ibadah-ibadah yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu terus menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, kecuali Aku pasti dengannya ia mendengar, (Akulah) matanya yang dengannya ia melihat, (Akulah) tangannya yang dengannya ia melakukan sesuatu, dan (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya; dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku melindunginya [Shahih al-Bukhari, V: 2384; Shahih Ibn Hibban, II: 58; Sunan al-Baihaqi al-Kubra, III: 346].

Menurut berbagai riwayat yang sahih, wali-wali Allah adalah hamba-hamba Allah yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah” sebagaimana halnya Nabi saw yang oleh ‘Aisyah dengan “selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap detik yang beliau milik” (kana yadzkurullaha fi kulli ahyanihi) [Musnad Abi Ya’la, VIII: 355]. Imam al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir-nya meriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullah; apabila mereka dilihat orang maka (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allah” [Al-Mu’jam al-Kabir, X:205].

Maksud “kunci-kunci dzikrullah” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allah sesuai dengan hadis dalam riwayat Ibn Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah saw ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allah itu? Beliau menjawab:

“Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu berdzikir kepada Allah karena melihat mereka” [ Mushaannaf Ibn Abi Syaibah, VII: 79; Musnad al-Bazza,VII: 158].

Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan:

"Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya, “Tuhan, siapakah wali-wali-Mu?” Tuhan menjawab:“Orang-orang yang apabila mereka berdzikir engkau pun berdzikir dan apabila engkau berdzikir mereka pun berdzikir” Nawadir al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, IV: 86].

Imam al-Suyuthi mengutip sebuah riwayat yang menceritakan bahwa kaum Hawariyyun bertanya kepada Nabi Isa as, “Siapa wali-wali Allah yang tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih?” Nabi Isa menjawab:“Orang-orang yang memandang hakikat dunia sementara manusia memandang permukaannya, dan orang-orang yang memandang dunia yang abadi (akhirat) sementara manusia memandang dunia yang fana” [Tafsir al-Durr al-Mantsur, IV: 370].
Dalam sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada’ tetapi pada hari kiamat para Nabi dan syuhada’ menginginkan seperti mereka karena kedudukan mereka disisi Allah ‘azza wa jalla.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa mereka dan apa amal-amal mereka? Boleh jadi kami akan mencintai mereka.” Rasulullah bersabda , “Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan ruh Allah tidak atas dasar hubungan darah antara mereka dan tidak pula atas dasar harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka adalah nur (Allah) dan mereka berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari nur; mereka tidak takut ketika orang lain takut”. Kemudian Rasulullah membacakan ayat “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih (Q.S. Yunus, 10:62).” Hadis tersebut dikutip oleh Imam al-Jauzi dari jalur ‘Umar Ibn al-Khaththab r.a. dalam Zad al-Masir-nya, [Zad al-Masir, IV: 43-44], dan dikutip juga oleh Imam Ibn Hibban dalam Shahih-nya [Shahih Ibn Hibbam II: 332], dan oleh Imam al-Bayhaqi dalam al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab [al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, I:134], dari jalur Abu Hurairah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS